oleh Emma Goldman
Kita membanggakan zaman teknologi, ilmu pengetahuan, dan kemajuan. Tapi apakah tidak aneh jika kemudian kita masih percaya dengan fetish?[1] Benar, fetish kita memiliki bentuk dan substansi yang berbeda, namun kekuasaan mereka atas pikiran manusia masih dianggap sebagai bencana bagi orang-orang yang tua.
Fetish modern kita adalah hak pilih universal. Mereka yang belum mendapatkannya berjuang dengan revolusi berdarah-darah untuk mendapatkannya, dan mereka yang telah menikmati pemerintahan ini sekarang membawa pengorbanan berat. Celakalah orang-orang murtad yang berani mempertanyakan keilahian itu!
Perempuan, bahkan lebih dari laki-laki, adalah penyembah fetish, dan meskipun berhalanya berubah-ubah, dia berlutut, memegang tangannya, dan selalu buta terhadap fakta bahwa Dewanya memiliki kaki dari tanah liat. Perempuan telah menjadi pendukung terbesar dari semua Dewa dari zaman dahulu. Dengan demikian juga dia harus membayar suatu harga yang hanya Dewa pula yang dapat membayarnya, -kebebasan, darah hati dari hidupnya.
Pepatah berkesan Nietzsche, “ketika Anda pergi bersama seorang perempuan, jangan lupa membawa cambuk,” dianggap sangat brutal, namun Nietzsche berhasil menyatakan dalam satu kalimat soal sikap perempuan terhadap Dewanya.
Agama, terutama agama Kristen, telah mengutuk perempuan dengan kehidupan inferior seorang budak. Ia telah menggagalkan kealamiahannya dan membelenggu jiwanya. Namun agama Kristen memiliki pendukung yang lebih besar dan tidak ada yang lebih taat bahkan, ketimbang kaum perempuan. Memang, adalah aman untuk mengatakan bahwa akan membutuhkan waktu yang sangat lama agar agama berhenti menjadi faktor dalam menentukan kehidupan orang-orang, jika bukan karena dukungan yang diterimanya dari seorang perempuan. Pekerja Gereja paling bersemangat, para misionaris yang paling tak kenal lelah di seluruh dunia, adalah perempuan, selalu mengorbankan dirinya di atas altar dewa-dewa yang telah merantai semangat dan memperbudak tubuhnya.
Raksasa yang tak pernah puas: perang, telah merampas semua yang berharga dan disayangi oleh perempuan. Ia menuntut saudara-saudara, kekasih, anak-anaknya, dan sebagai imbalannya memberikannya sebuah kehidupan yang kesepian dan putus asa. Namun pendukung terbesar dan pemuja perang adalah perempuan. Dia yang menanamkan cinta penaklukan dan kekuasaan ke anak-anaknya; dia yang membisikkan kemuliaan perang ke telinga anak-anak kecil, dan bayinya tertidur dengan lagu-lagu terompet dan suara senjata. Perempuan juga yang memahkotai pemenang sekembalinya dari medan perang. Ya, adalah perempuan yang membayar harga tertinggi untuk raksasa yang tak terpuaskan, perang.
Lalu ada rumah. Fetish yang sangat mengerikan itu! Bagaimana dia sangat menghisap energi hidup perempuan, -penjara modern dengan jeruji terbuat dari emas. Ia menyinari aspek tirai perempuan untuk harga yang harus dia bayar sebagai istri, ibu, dan pembantu rumah tangga. Namun perempuan menempel dengan gigih pada rumah, pada kekuatan perbudakan yang menahannya.
Dapat dikatakan bahwa karena perempuan mengakui hal mengerikan inilah makanya dia harus membayar kepada Gereja, Negara, dan rumah, dan dia ingin hak untuk memilih supaya dapat membebaskan diri. Apalagi kala mengingat mayoritas suffragists (pendukung hak pilih perempuan –red) menolak hujatan ini. Sebaliknya, mereka selalu bersikeras bahwa hak pilih perempuan yang akan membuat Kristen dan rumah menjadi terjaga, menjadi warga negara yang setia. Dengan demikian hak pilih hanya menjadi sarana untuk memperkuat kemahakuasaan Dewa yang telah dipuja perempuan sejak dahulu kala.
Suatu keheranan jika kemudian dia harus sama taatnya, hampir seperti bersemangat, bersujud kepada idola baru, yaitu hak pilih perempuan. Sampai tua dia bertahan dengan penganiayaan, pemenjaraan, penyiksaan dan segala bentuk kecaman dengan senyum di wajahnya. Sampai tua, paling tercerahkan bahkan, harapan untuk sebuah keajaiban dari Tuhan abad kedua puluh: hak pilih. Kehidupan, kebahagiaan, sukacita, kebebasan, kemerdekaan, -semua itu, dan banyak lagi, muncul dari hak pilih. Dirinya buta mengenai pengabdian perempuan karena tidak melihat apa yang orang intelek rasakan lima puluh tahun yang lalu: bahwa hak pilih merupakan hal jahat, bahwa hal itu hanya membantu memperbudak orang, bahwa ia hanya menutup mata mereka, bahwa mereka mungkin tidak melihat bagaimana liciknya mereka dibuat untuk menyerahkan dirinya sendiri.
Permintaan perempuan atas hak pilih yang setara sebagian besar didasarkan pada anggapan bahwa perempuan harus memiliki hak yang sama dalam semua urusan masyarakat. Tidak ada yang bisa mungkin, untuk membantah bahwa, jika hak pilih adalah hak. Sayangnya, atas ketidaktahuan dari pikiran manusia, yang mana tidak bisa melihat dengan tepat soal pemaksaan. Atau apakah bukan suatu pemaksaan brutal jika sekelompok orang membuat undang-undang yang ditetapkan, dipaksakan dengan koersif supaya banyak yang patuh? Namun perempuan menuntut “kesempatan emas” itu, yang telah menempa begitu banyak kesengsaraan di dunia, dan merampok integritas dan kemandirian manusia; memaksakan sesuatu yang telah benar-benar merusak rakyat, dan benar-benar membuat mereka menjadi mangsa di tangan politisi yang tidak bermoral.
Orang miskin dan bodoh, warga negara Amerika yang bebas! Bebas kelaparan, bebas berjalan dengan langkah berat di jalan raya negara besar ini, ia menikmati hak pilih universal, dan dengan begitu ia telah menempa besi untuk merantai tangannya sendiri. Imbalan yang ia terima adalah undang-undang ketenagakerjaan yang ketat yang melarang hak boikot, segala tindak pencegahan dari segala sesuatu, pada kenyataannya, kecuali hak untuk merampok dari hasil kerjanya. Semua hasil bencana fetish dari abad kedua puluh ini tidak mengajarkan apapun pada perempuan. Tapi kemudian, perempuan akan memurnikan politik, begitu kita yakini.
Tak ada yang perlu dikatakan, bahwa saya tidak menentang hak pilih untuk perempuan di tempat konvensional yang dia tidak setara dengan itu. Saya tidak melihat alasan fisik, psikologis, maupun mental, mengapa perempuan tidak harus memiliki hak yang sama untuk memilih dengan pria. Tapi itu tidak mungkin membutakan saya dari gagasan absurd bahwa perempuan pada akhirnya akan memenuhi ruang-ruang dimana para lelaki telah gagal. Jika dia tidak membuat hal-hal buruk, dia pasti gagal membuat mereka lebih baik. Anggap saja karenanya, ia berhasil dalam memurnikan sesuatu yang tidak mungkin dimurnikan, pasti ada yang memberinya kekuatan supranatural. Sejak kemalangan terbesar perempuan adalah dipandang baik itu sebagai malaikat atau setan, keselamatan sejatinya terletak pada yang ditempatkan di bumi; yaitu dipertimbangkan sebagai manusia, dan karena itu tunduk pada semua kebodohan dan kesalahan manusia. Apakah kita kemudian mempercayai bahwa dua kesalahan tersebut akan membuatnya benar? Apakah kita berasumsi bahwa racun yang sudah melekat dalam politik akan menurun jika perempuan memasuki arena politik? Para suffragists paling bersemangat akan sulit mempertahankan kebodohan seperti itu.
Sebagai fakta, pelajar paling pintar dari hak pilih universal telah menyadari bahwa semua sistem kekuatan politik yang ada adalah tidak masuk akal, dan benar-benar tidak memadai untuk menyelesaikan berbagai masalah mendesak dalam kehidupan. Pandangan ini bahkan juga dikeluarkan dari seorang perempuan yang sangat bersemangat dengan hak pilih, Dr. Helen L. Sumner. Dalam karyanya Equal Suffrage, dia mengatakan: “Di Colorado, kami menemukan bahwa hak pilih yang sama berfungsi untuk menampilkan cara yang paling mencolok dalam kebusukan esensial dan mendegradasi karakter dari sistem yang ada.” Tentu saja, Nyonya Sumner telah berpikir dengan sistem pemungutan suara tertentu, tetapi hal tersebut perlu dilakukan dengan kekuatan yang sama dari seluruh mesin sistem perwakilan. Dengan dasar tersebut, sulit untuk memahami bagaimana seorang perempuan, sebagai faktor politik, akan menguntungkan baik dirinya atau seluruh sisa umat manusia.
Tapi, kata pendukung hak pilih kita, lihatlah tempat-tempat dimana hak pilih perempuan tercipta. Lihat apa yang perempuan telah capai -di Australia, Selandia Baru, Finlandia, negara-negara Skandinavia, dan kita sendiri di empat negara bagian, Idaho, Colorado, Wyoming dan Utah. Jarak menentukan pesona -atau, mengutip pepatah Polandia– “itu juga dimana kita tidak berada.” Dengan demikian orang akan berasumsi bahwa negara-negara itu tidak seperti negara-negara lain, bahwa mereka memiliki kebebasan yang lebih besar, kesetaraan sosial dan ekonomi yang lebih besar, apresiasi yang lebih baik pada kehidupan manusia, pemahaman yang lebih dalam perjuangan sosial yang besar, dengan semua pertanyaan penting bahwa hal ini melibatkan seluruh umat manusia.
Para perempuan di Australia dan Selandia Baru dapat memilih, dan membantu membuat undang-undang. Apakah kondisi kerja mereka menjadi lebih baik seperti di Inggris, dimana hak pilih membuat mereka tampak seperti perjuangan heroik? Apakah di sana ada sebuah keibuan yang lebih besar, anak-anak yang lebih bahagia dan lebih bebas daripada di Inggris? Apakah perempuan di sana tidak lagi dianggap sebagai komoditas seks belaka? Apakah dia membebaskan dirinya dari standar ganda moralitas puritan untuk laki-laki dan perempuan? Tentu saja tidak ada, kecuali politisi perempuan biasa yang akan berani menjawab pertanyaan-pertanyaan afirmatif di atas. Jika begitu, tampaknya konyol untuk menunjuk ke Australia dan Selandia Baru sebagai contoh prestasi hak pilih yang setara.
Di sisi lain adalah fakta kepada mereka yang mengetahui kondisi politik yang nyata di Australia, bahwa politik telah menyumbat tenaga kerja dengan memberlakukan undang-undang tenaga kerja yang paling ketat, membuat mogok tidak akan mendapat sanksi kriminal yang sama dengan pengkhianatan dari komite arbitrase.
Saya tidak bermaksud untuk menyiratkan bahwa hak pilih perempuan bertanggung jawab untuk keadaan ini. Maksud saya, bagaimanapun juga, tidak ada alasan untuk menunjuk Australia sebagai mukjizat prestasi perempuan, karena pengaruhnya tidak mampu membebaskan kerja dari perbudakan.
Finlandia telah memberikan hak pilih yang setara pada perempuan, bahkan hak yang sama untuk duduk di parlemen. Tetapi apakah hal itu membantu mengembangkan kepahlawanan yang lebih besar, semangat yang lebih intens dibandingkan dengan perempuan Rusia? Finlandia, sama seperti di Rusia, kecerdasan berada di bawah cambuk mengerikan Tsar. Dimana Perovskaias, Spiridonovas, Figners, Breshkovskaias Finlandia? Dimana banyaknya gadis-gadis muda Finlandia yang tak terhitung jumlahnya dengan riang pergi ke Siberia untuk tujuan mereka? Finlandia adalah kesedihan yang membutuhkan pembebas heroik. Mengapa surat suara tidak membantu mereka? Satu-satunya pembalas rakyat Finlandia adalah laki-laki, bukan seorang perempuan, dan ia menggunakan senjata yang lebih efektif ketimbang surat suara.
Seperti Amerika kita, dimana perempuan dapat memilih, dan yang terus-menerus menganggapnya sebagai contoh keajaiban, apa yang telah dicapai melalui pemungutan suara, bahwa perempuan tidak untuk merasakan kenikmatan yang lebih besar seperti di negara bagian lain; atau bahwa mereka tidak dapat mencapai tujuannya melalui upaya yang energik, tanpa pemungutan suara?
Benar, hak pilih perempuan di Amerika menjamin hak yang sama untuk properti; tapi apa gunanya hak tersebut untuk sebagian besar massa perempuan yang tidak memiliki properti, ribuan pekerja upah, yang hidup dari tangan untuk mulut? Hak pilih yang sama itu tidak bisa mempengaruhi kondisi mereka, seperti diakui bahkan oleh Dr. Sumner, yang dalam posisi mengetahui pasti hal tersebut. Sebagai seorang suffragists yang bersemangat, dan telah dikirim ke Colorado oleh Kolegiat Liga New York Kesetaraan Hak Pilih untuk mengumpulkan materi yang mendukung hak pilih, dia akan menjadi yang terakhir untuk mengatakan hinaan apapun; namun kita diberitahu bahwa “hak pilih yang sama tidak mempengaruhi kondisi ekonomi perempuan. Bahwa perempuan tidak menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, dan bahwa, meskipun perempuan di Colorado telah menikmati hak pilih sekolah sejak tahun 1876, guru perempuan dibayar lebih rendah ketimbang di California.” Di sisi lain, Nyonya Sumner gagal untuk memperhitungkan fakta bahwa meskipun perempuan telah memiliki hak pilih sekolah selama tiga puluh empat tahun, dan hak pilih yang sama sejak tahun 1894, sensus di Denver saja beberapa bulan lalu mengungkap fakta bahwa lima belas ribu anak-anak gagal bersekolah. Dan itu juga, dengan sebagian besar perempuan di departemen pendidikan, dan juga terlepas bahwa perempuan di Colorado telah lulus dari “hukum yang paling ketat untuk anak dan perlindungan hewan.” Para perempuan dari Colorado “telah mengambil minat yang besar dalam lembaga-lembaga Negara untuk merawat tanggungan orang cacat dan tunggakan anak-anak.” Adalah dakwaan yang mengerikan terhadap kepedulian dan ketertarikan perempuan, jika salah satu kota memiliki lima belas ribu anak-anak yang cacat. Bagaimana mungkin hak pilih perempuan yang mulia, sama sekali telah gagal dalam bagian sosial yang paling penting, yaitu anak? Dan dimana rasa superior keadilan ketika membawa perempuan ke dalam bidang politik? Dimana itu ketika tahun 1903, ketika pemilik tambang mengobarkan perang gerilya melawan Persatuan Penambang Barat; ketika Jenderal Bell mendirikan pemerintahan teror, menarik orang keluar dari tempat tidur di malam hari, menculik mereka di garis perbatasan, melemparkan mereka ke dalam kandang banteng, menyatakan “ke nerakalah dengan Konstitusi, pentungan adalah Konstitusi”? Dimana para politisi perempuan itu dan mengapa mereka tidak berlatih dengan kekuatan suara mereka? Tapi mereka melakukan itu. Mereka membantu untuk mengalahkan orang yang paling berpikiran adil dan liberal, Gubernur Davis Hanson Waite. Yang terakhir ini harus membuat jalan bagi alat raja-raja tambang, Gubernur James Hamilton Peabody, musuh tenaga kerja, Tsar dari Colorado.
“Tentu saja para pemilih laki-laki dapat membuat sesuatu menjadi lebih buruk.” Memang. Lalu, apa keuntungan terhadap perempuan dan masyarakat dari hak pilih perempuan? Penegasan yang sering diulang-ulang bahwa seorang perempuan akan memurnikan politik adalah mitos. Hal ini akan disetujui oleh orang-orang yang mengetahui bagaimana kondisi politik di Idaho, Colorado, Wyoming dan Utah.
Perempuan, pada dasarnya murni, secara alami terfanatikkan dan menjadi tak kenal lelah dalam upaya untuk membuat bagaimana orang lain seharusnya berpikir sebagus dirinya. Dengan demikian, di Idaho, dia telah mencabut hak memilih bagi adiknya, para perempuan jalanan, dan menyatakan semua perempuan dengan “karakter cabul” tidak layak untuk memilih. Tentu saja “cabul” tidak ditafsirkan seperti prostitusi dalam pernikahan. Tak perlu dikatakan lagi bahwa perjudian dan prostitusi yang ilegal telah dilarang. Dalam hal ini hukum butuh menjadi lebih feminin: selalu melarang. Didalamnya semua hukum adalah indah. Mereka pergi lebih jauh lagi, tapi semua kecenderungan mereka membuka semua pintu air neraka. Prostitusi dan perjudian tidak pernah menjadi bisnis yang lebih berkembang sejak undang-undang telah ditetapkan terhadap mereka.
Di Colorado, perempuan puritan telah menyatakan dirinya dalam bentuk yang lebih drastis. “Laki-laki yang terkenal najis, dan laki-laki yang terhubung dengan bar, telah dijatuhkan dari politik karena perempuan memiliki hak suara.”[2] Bisakah Saudara Comstock melakukan lebih? Bisakah semua nenek moyang puritan berbuat lebih banyak? Saya bertanya-tanya berapa banyak perempuan yang menyadari bahwa hal ini akan mengalahkan mereka. Saya ingin tahu apakah mereka memahami bahwa itu adalah hal yang sangat, bukannya mengangkat perempuan, tetapi telah membuat mata-mata politik, membongkar kehinaan dalam urusan pribadi orang, tidak banyak menyebabkan kebaikan, tetapi karena, seperti perempuan Colorado katakan, “mereka ingin masuk ke rumah-rumah yang mereka tidak akan pernah bisa masuki, dan mencari tahu semua yang mereka bisa, politik dan sebaliknya.”[3] Ya, dan ke dalam jiwa manusia dan sudut dan pojokan terkecil. Begitu banyak skandal untuk memenuhi apapun keinginan dari kebanyakan perempuan. Dan kapan dia pernah menikmati kesempatan seperti yang miliknya, para politisi itu?
“Terkenal karena hidup najis, dan laki-laki yang terhubung dengan bar.” Tentu saja, para pengumpul suara perempuan tidak dapat menuduh begitu banyak rasa proporsi. Memberikan orang yang selalu ingin ikut campur urusan orang lain untuk memutuskan siapa yang hidupnya cukup bersih untuk suasana nyata politik yang bersih, haruskah itu mengikuti penjaga bar masuk dalam kategori yang sama? Kecuali hal ini menjadi kemunafikan dan kefanatikan Amerika, sehingga mewujud dalam prinsip Larangan, yang menghukum tersebarnya kemabukan di antara laki-laki dan perempuan dari kelas kaya, namun tetap menjaga dengan waspada pada satu-satunya tempat yang tersisa untuk orang miskin. Jika tidak ada alasan lain, sikap sempit dan murni perempuan terhadap kehidupan membawanya bahaya yang lebih besar untuk kebebasan dimanapun dia memiliki kekuasaan politik. Laki-laki telah lama mengatasi takhayul yang masih ditelan perempuan. Di bidang kompetitif ekonomi, laki-laki dipaksa untuk melakukan efisiensi, penilaian, kemampuan, dan kompetensi. Karena itu ia tak memiliki waktu atau kecenderungan untuk mengukur moralitas setiap orang dengan tolok ukur yang berpegang teguh pada norma moral. Dalam kegiatan politiknya juga, ia tidak pergi dengan mata tertutup. Dia tahu soal kuantitas dan bukan kualitas bahan untuk pabrik penggilingan politik, dan kecuali dia adalah seorang reformis sentimental atau seorang fosil tua, ia tahu bahwa politik tidak pernah bisa menjadi apapun kecuali rawa saja.
Perempuan yang fasih dengan proses politik, mengetahui sifat kebinatangan itu, tetapi dalam keswasembadaan dan keegoisan mereka, mereka percaya bahwa mereka harus memelihara hewan buas, dan ia akan menjadi lembut seperti anak domba yang manis dan murni. Seolah-olah perempuan tidak akan menjual penilaian mereka, seakan politisi perempuan tidak bisa dibeli! Jika tubuhnya bisa dibeli dengan pertimbangan imbalan material, mengapa suaranya tidak? Hal ini yang sedang dilakukan di Colorado dan di negara lain, tapi tidak ditolak oleh mereka yang mendukung hak pilih perempuan.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, pandangan sempit perempuan dari urusan manusia bukan satu-satunya argumen terhadap dirinya sebagai politisi unggul manusia. Ada orang lain. Parasitisme ekonomi seumur hidupnya telah benar-benar mengaburkan konsepsi makna kesetaraannya. Dia ribut untuk hak yang sama dengan laki-laki, namun kita belajar bahwa “beberapa perempuan peduli dengan tempat kumuh di distrik-distrik yang tidak diinginkan.”[4] Betapa sedikitnya arti kesetaraan bagi mereka dibandingkan dengan perempuan Rusia, yang menghadapi neraka itu sendiri untuk idealisme mereka!
Perempuan menuntut hak yang sama seperti laki-laki, namun dia marah karena kehadirannya tidak menyerang laki-laki hingga mati: laki-laki merokok, terus memegang topinya, dan tidak melompat dari tempat duduknya seperti seorang penjilat. Ini mungkin hal yang sepele, tetapi ini tetap menjadi kunci untuk menjelaskan sifat suffragists Amerika. Yang pasti, saudara mereka di Inggris telah melampaui gagasan-gagasan yang konyol tersebut. Mereka telah menunjukkan diri mereka setara dengan tuntutan terbesar dalam karakter dan kekuatan daya tahan mereka. Semua kehormatan untuk kepahlawanan dan kekokohan pada para suffragists Inggris. Berterimakasihlah pada metode mereka yang energik dan agresif, sehingga terbukti mereka telah menjadi inspirasi bagi beberapa perempuan kita sendiri yang tak bernyawa dan tak bertulang ini. Tapi setelah semuanya itu, hak pilih juga masih kurang dalam mengapresiasi kesetaraan yang nyata. Lainnya adalah bagaimana memperhitungkan upaya yang benar-benar luar biasa dan besan yang digerakkan oleh pejuang gagah berani untuk sedikit tagihan celaka yang akan menguntungkan segelintir perempuan pemilik tanah, dengan benar-benar tidak ada ketentuan untuk sebagian besar massa pekerja perempuan? Benar, karena politisi, mereka harus oportunis, harus mengambil setengah-setengah jika mereka tidak bisa mendapatkan semuanya. Tapi seperti perempuan cerdas dan liberal, mereka harus menyadari bahwa jika pemungutan suara adalah senjata, yang tertindas lebih membutuhkannya daripada orang dari kelas ekonomi yang unggul, dan kelas yang terakhir ini sudah menikmati terlalu banyak kekuasaan berdasarkan superioritas ekonomi mereka.
Pemimpin brilian soal hak pilih di Inggris, Nyonya Emmeline Pankhurst, mengakui dirinya saat tur ceramah Amerika, bahwa tidak ada kesetaraan antara atasan dan bawahan politik. Jika demikian, akan bagaimana dengan pekerja dari Inggris, sudah lebih rendah secara ekonomi untuk perempuan yang diuntungkan oleh tagihan Shackleton[5], dapat bekerja dengan atasan politik mereka, harus melewati tagihan? Apakah tidak mungkin bahwa kelas Annie Keeney, begitu penuh semangat, pengabdian, dan mati syahid, mereka akan terdorong untuk melakukan politik perempuan di punggung bos mereka, bahkan saat mereka membawa tuan ekonomi mereka. Mereka masih harus melakukannya, itu hak pilih universal untuk laki-laki dan perempuan yang didirikan di Inggris. Tidak peduli apa yang pekerja lakukan, mereka harus membayar, selalu. Namun, orang-orang yang percaya pada kekuatan hak suara menunjukkan sedikit rasa keadilan ketika mereka sama sekali tidak menyibukkan diri dengan orang-orang yang, seperti yang mereka klaim, yang mungkin melayani banyak orang.
Gerakan hak pilih Amerika hingga saat ini, benar-benar urusan salon, benar-benar terlepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian Susan B. Anthony, seseorang luar biasa yang tak teragukan lagi dari perempuan, tidak hanya acuh tak acuh, tetapi bertentangan dengan tenaga kerja; dia juga tidak ragu-ragu untuk mewujudkan antagonisme ketika pada tahun 1869, ia menyarankan perempuan untuk mengambil tempat pemogokan percetakan di New York.[6][7] Saya tidak tahu apakah sikapnya telah berubah sebelum ia mati.
Tentu saja, ada beberapa suffragists yang berafiliasi dengan pekerja –misalnya Liga Union Perdagangan Perempuan; tetapi mereka adalah minoritas kecil, dan kegiatan mereka pada dasarnya ekonomi. Sisanya memandang kerja keras hanya sebagai penyediaan dari takdir. Apa jadinya orang kaya, jika bukan untuk orang miskin? Apa jadinya nyonya-nyona penganggur, parasit ini, yang menyia-nyiakan lebih dalam seminggu daripada korban mereka peroleh dalam satu tahun, jika tidak untuk delapan puluh juta buruh-buruh? Kesetaraan, pernah mendengar hal seperti itu?
Beberapa negara telah menghasilkan kesombongan tersebut dan kesombongan sebagai Amerika. Terutama dari perempuan kelas menengah Amerika. Mereka tidak hanya menganggap dirinya sederajat dengan laki-laki, tetapi juga atasannya, terutama soal kesucian, kebaikan, dan moralitasnya. Sedikit heran bahwa para suffragists Amerika mengklaim bahwa suaranya memiliki kekuatan yang paling ajaib. Dalam kesombongan yang ditinggikan itu dia tidak melihat betapa dia benar-benar telah diperbudak, tidak begitu banyak oleh manusia, tetapi karena dengan gagasan konyol dan tradisi itu sendiri. Hak pilih tidak dapat memperbaiki fakta menyedihkan; selain hanya bisa menonjolkan hal itu, karena memang hal itu tidak dapat menonjolkan hal lain.
Salah satu pemimpin perempuan Amerika yang hebat mengklaim bahwa perempuan tidak hanya berhak untuk upah yang setara, tapi dia seharusnya secara legal berhak menggaji bahkan suaminya. Gagal untuk mendukung dia, dia harus dimasukkan ke dalam garis-garis narapidana, dan pendapatan di penjara dikumpulkan oleh istrinya yang setara. Tidak adakah eksponen brilian lain yang mengklaim untuk perempuan bahwa suaranya akan menghapuskan kejahatan sosial, yang telah berjuang sia-sia oleh upaya kolektif dari pikiran yang paling terkenal di seluruh dunia? Tentu saja pencipta alam semesta akan menyesal bahwa kita telah disajikan dengan skema indah tentang segala sesuatu, hak pilih perempuan pasti akan memungkinkan perempuan untuk mengalahkan dia sepenuhnya.
Tidak ada yang begitu berbahaya seperti pembedahan fetish. Jika kita telah hidup dalam waktu lebih lama ketika bid’ah seperti itu dihukum, kita belum hidup lebih lama dari kutukan semangat sempit dari mereka yang berani berbeda dengan gagasan-gagasan yang diterima. Oleh karena itu saya mungkin akan diletakkan sebagai musuh perempuan. Tapi itu tidak bisa menghalangi saya dari melihat pertanyaan yang berada tepat di depan muka. Saya ulangi apa yang telah saya katakan di awal: saya tidak percaya perempuan akan membuat politik lebih buruk; saya juga tidak percaya bahwa dia bisa membuatnya lebih baik. Jika dia tidak bisa memperbaiki kesalahan manusia, mengapa dia harus membuatnya lebih baik?
Mungkin sejarah adalah kompilasi dari kebohongan; walau demikian, terdapat beberapa kebenaran, dan mereka adalah satu-satunya panduan yang kita miliki untuk masa depan. Sejarah aktivitas politik laki-laki membuktikan bahwa mereka telah memberinya apapun yang tidak bisa dicapai dengan cara yang lebih langsung, lebih murah, dan lebih kekal. Sebagai fakta saja, setiap inci dari tanah yang ia peroleh telah melalui perjuangan konstan, perjuangan tanpa henti untuk menyatakan diri, dan bukan melalui hak pilih. Tidak ada alasan apapun untuk menganggap perempuan itu, dalam pendakian dia untuk emansipasi, telah, atau akan, dibantu oleh surat suara.
Di negara yang paling suram dari semua negara, Rusia, dengan despotisme mutlak, perempuan telah menjadi manusia yang setara, tidak melalui pemungutan suara, tetapi oleh kemauannya untuk menjadi dan melakukannya. Tidak hanya dia menaklukkan dirinya sendiri untuk setiap jalan belajar dan panggilan, tapi dia telah memenangkan penghargaan manusia, rasa hormat, persahabatannya; aye, bahkan lebih dari itu: ia telah memperoleh kekaguman, rasa hormat dari seluruh dunia. Itu pun, tidak melalui hak pilih, tetapi dengan kepahlawanannya, ketabahannya, kemampuannya, kemauannya, dan daya tahannya yang indah dalam perjuangan untuk kebebasan. Dimana para perempuan di negara atau negara bagian dengan hak pilih yang dapat mengklaim kemenangan seperti itu? Ketika kita mempertimbangkan prestasi perempuan di Amerika, kita juga menemukan sesuatu yang lebih dalam dan lebih kuat dari hak pilih yang telah membantunya dalam pawai untuk emansipasi.
Sudah enam puluh dua tahun sejak beberapa perempuan di Konvensi Seneca Falls menetapkan beberapa tuntutan untuk hak mereka atas pendidikan yang sama dengan laki-laki, dan akses ke berbagai profesi, perdagangan, dll. Sungguh prestasi yang indah, kemenangan indah! Siapa yang berani kecuali yang paling bodoh berbicara tentang perempuan sebagai pembanting tulang domestik belaka? Siapa yang berani menyarankan bahwa profesi ini atau itu tidak harus terbuka pada perempuan? Selama lebih dari enam puluh tahun dia telah membentuk suasana baru dan kehidupan baru untuk diri perempuan. Perempuan telah menjadi kekuatan dunia di setiap domain pemikiran dan aktivitas manusia. Dan semua itu tercipta tanpa hak pilih, tanpa hak untuk membuat undang-undang, tanpa “hak istimewa” untuk menjadi seorang hakim, sipir penjara, atau algojo.
Ya, saya dapat dianggap sebagai musuh perempuan; tetapi jika aku bisa membantunya melihat cahaya, saya pasti tidak akan mengeluh.
Kemalangan perempuan tidak hanya bahwa dia tidak dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan seorang laki-laki, tapi dia membuang-buang kekuatan hidupnya untuk mengalahkan dia, dengan tradisi berabad-abad yang telah meninggalkan dia secara fisik tidak mampu menjaga kecepatan dengan laki-laki. Oh, saya tahu beberapa telah berhasil, tapi berapa biayanya, berapa hebat biayanya! Impor bukanlah tipe yang perempuan bisa kerjakan, melainkan kualitas pekerjaan yang ia bisa lengkapi. Dia bisa memberikan hak pilih atau kertas pemungutan suara, tapi ia juga tidak bisa menerima sesuatu apapun dari itu, yang akan meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Perkembangannya, kebebasannya, kemandiriannya, harus datang dari dan melalui dirinya. Pertama, dengan menegaskan dirinya sebagai sosok pribadi, dan bukan sebagai komoditas seksual. Kedua, dengan menolak hak setiap orang atas tubuhnya; dengan menolak membesarkan anak, kecuali dia sendiri yang menginginkannya; dengan menolak menjadi pelayan bagi Tuhan, negara, masyarakat, suami, keluarga dan lain sebagainya; dengan menjalankan hidup yang bersahaja namun mendalam dan kaya. Yaitu berusaha memahami makna dan substansi hidup beserta segala kompleksitasnya, dengan membebaskan dirinya dari ketakutan akan pendapat umum dan kutukan umum. Hanya dengan cara itu -dan bukan dengan kotak pemilu- maka perempuan akan bebas, akan membuatnya menjadi sebuah kekuatan yang tak pernah dikenal sebelumnya di dunia, sebuah kekuatan demi cinta yang sesungguhnya, untuk perdamaian, untuk harmoni; sebuah kekuatan api yang menggelora, sebagai pemberi kehidupan; seorang pencipta laki-laki dan perempuan yang bebas.
_____________________________________________________
[1] Inggris: Fetish, pemujaan yang amat sangat, berlebihan.
[2] Equal Suffrage, Dr. Helen Sumner.
[3] Equal Suffrage.
[4] Dr. Helek A. Sumner.
[5] Mr. Shackleton adalah pemimpin buruh. Dia pernah memperkenalkan tagihan terhadap konstituennya. Parlemen Inggris penuh dengan Yudas macam dia.
[6] Equal Suffrage. Dr. Helen A. Sumner.
[7] Selama pemogokan, terkadang ada pekerja opurtunis yang mengganti pekerjaan para pemogok, secara konotasi negatif sering disebut scab (Indonesia: koreng), semacam pekerja sementara yang memanfaatkan peluang untuk menggantikan posisi pekerja asli yang sedang melakukan pemogokan. Karena pekerja macam inilah biasanya tuntutan dari para pemogok tidak dipenuhi (penerjemah).